Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -19 Views

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan terhormat bagi generasi TNI selanjutnya: Tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang murni. Pak Dirman meninggalkan fondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.

Pahlawan ini memberikan TNI reputasinya sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia mengukuhkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Ia adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, yang saat itu bernama Surakarta. Ketika para pemimpin Gerakan Kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus membiarkan penduduk pribumi Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer disusun di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang lurus. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan perusahaan dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan perusahaan ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil kepemimpinan batalyon mereka dan berjanji kesetiaan mereka kepada republik baru yang diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris berencana untuk mundur, pasukan Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, ia kemudian menjadi sosok heroik yang mewakili semangat perjuangan TNI yang gigih. Ia diakui telah mendorong pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini adalah pukulan penting dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kontrol penuh Republik Indonesia.

Setelah kejadian di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapatkan rasa hormat dari para komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Angkatan Perang Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Petinggi tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, ditunjuk sebagai Panglima Besar.

Ia bersumpah setia kepada TNI. Ia dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin seluruh batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan kedamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada tanggal 19 Desember 1948, meskipun telah ada kesepakatan gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda meluncurkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan tiba-tiba Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941 atau pukulan belakang Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara pada saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidak sahannya tindakan Belanda melalui cara-cara diplomatik dan politik.

Pada akhir tahun 1948 Jenderal Sudirman, Panglima Angkatan Perang Indonesia pertama, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Ia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk melawan dan memberikan sedikit perlawanan saat pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan berperang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan bawahannya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan TNI akhirnya meraih kemenangan.

Dengan berbagai keputusannya yang teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan terhormat bagi generasi TNI selanjutnya, yakni tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan fondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI di masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap tegas, dan semangat pengorbanan yang tulus. Ia sadar bahwa ada kemungkinan besar ia akan terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Namun, ia memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan keyakinan bawahannya dan rakyat secara keseluruhan di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Perbuatannya yang heroik telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link