LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -60 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat membangkitkan semangat rakyat, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang pidato yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela harga diri bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian penting dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari anak muda dan murid-murid madrasah Surabaya, dan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk membela kemerdekaan berjuang keras Republik Indonesia.

Pertempuran masif melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran masif dan ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir seminggu antara Brigade yang dikomandani oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit level peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang merupakan relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu renggang di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dibabat habis sebagai kekuatan terorganisir. Tindakan-tindakan ini mencapai puncaknya dalam pembunuhan Mallaby. Ini, tentu saja, membuat Inggris malu. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia diserahkan senjatanya.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelaku ditangkap.

Seri pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir buntu.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1945, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut bahwa semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berizin membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak Indonesia di perintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah itu tidak diindahkan, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menciptakan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka sudah siap perang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons sepenuhnya kepada rakyat Surabaya.

Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia merupakan negara besar yang dapat menahan serangan militer besar oleh pasukan asing. Negara ksatria ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau sebaliknya, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi negara yang ditaklukkan, negara yang malu, negara yang merendahkan diri di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini hanya bisa diambil oleh Gubernur Suryo.

Saat waktu yang ditetapkan oleh Tentara Inggris hampir habis, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan penting itu kepada penduduk Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak bernada menyala. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk mengambil senjata membela Surabaya.

Walau Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena kepiawaian pidatonya yang menggugah, Governor Suryo dengan nada tenang namun tegas tidak kalah kuatnya. Pidato Governor Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Hanya bisa kita bayangkan emosinya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Jauh lebih sulit untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah dia tunjukkan kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara-saudara,

Pemimpin-pemimpin kami di Jakarta telah berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang terserah pada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk membela kedaulatan bangsa kita, kita harus mempertahankan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berulang kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kami lebih memilih hancur daripada dijajah kembali. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kami akan tetap teguh dalam menolak ultimatum tersebut.

Di hadapan setiap kemungkinan besok, mari kita semua pertahankan persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda dan organisasi perlawanan rakyat. Marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar kita diberi kekuatan dan Berkah serta Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link