QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -19 Views

Para mentor saya dari generasi ‘45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Rasa Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer dipertajam di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya sangat beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik akan bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ditentukan semata oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dalam gelombang kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Namun banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar akhirnya kita bisa bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ‘45. Mereka adalah ‘generasi pejuang’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung telah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ‘45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Saat itu, partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera mengunjunginya dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian pula kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari sebuah markas Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran, termasuk komandan mereka dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama dengan gelar Doktor Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata masuk ke negara untuk mendukung pasukan Indonesia. Dia juga berperan dalam mencetak uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, dia menjadi asisten pribadi Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek nenek saya di hari Minggu. Kakek nenek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah barang yang selalu menyambut saya. Kakek nenek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur, ransel, dan helm paman saya yang disimpannya. Bahkan seragam mereka masih terlipat rapi, dan sepatu militer mereka diletakkan di ujung tempat tidur mereka yang lain selalu bersinar. Secara halus, kakek nenek saya menunjukkan seberapa besar mereka menghargai dan menghormati pengorbanan yang luar biasa yang anak-anak mereka telah buat demi kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul yang disebut semangat ’45. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk mengangkat Indonesia menjadi negara yang merdeka, patut dihormati, dan adil, dengan warga yang makmur dan bahagia yang setara dengan negara-negara lain. Atmosfer inilah yang, secara tak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi-generasi berikutnya, termasuk saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh di lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan istilah tersebut saat itu. Generasi ’45 naik menjadi terkenal karena mereka tidak ingin dianggap lebih rendah dari anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frase verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat. Bahkan pada tahun 1978, saat saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Pasukan Khusus (KOPASSUS) Grup 1, saya menemukan frase ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Itu terukir di dinding marmer di samping kolam renang. Namun, pada waktu itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut itu. Dan untuk kejutan saya, dengan jelas, terlihatlah frase Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan penduduk asli tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan adalah bahwa kami, sebagai penduduk asli, berada setelah anjing. Pada saat itu, Belanda menganggap anjing lebih dihormati daripada kita, penduduk asli negeri ini. Selain tumbuh di keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga sangat beruntung dapat berinteraksi langsung dengan tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulu pernah menjadi sekretarisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar mengangkat saya. Ketika saya masih anak-anak, rumah kami sering dijadikan tamu. Kemudian, saya akan memahami bahwa mereka adalah tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun formatif bangsa. Demikian pula, ketika saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, dan ia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih seorang kadet. Posisi terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Mayor Jenderal Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah Panglima Wilayah Pertahanan II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Tokoh lain yang saya kenal adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Kadet AKABRI. Selain itu, saya bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai staf dari Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah lembaga keamanan dalam negeri khusus dan kuat yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), yang tugas terakhirnya adalah Panglima Wilayah I dan IV. Saya juga bertemu Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan jabatan terakhir Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui pelayanan saya sebagai seorang perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Ia kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala…

Source link