Demokrasi Bucin dan Politik Receh merajalela di Indonesia, Dinilai sebagai Fenomena yang Memprihatinkan

by -28 Views

Bogor – Menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, Indonesia sedang berada di dalam situasi demokrasi yang lesu, terpengaruh oleh politik fans dan politik receh yang telah muncul sejak Pilpres 2014. Generasi Milenial dan Generasi Z, terutama kalangan akademisi dan mahasiswa, diharapkan untuk bergerak melawan proses pelemahan demokrasi itu.

Substansi tersebut tertuang dalam diskusi bertajuk “Problematika dan Kontekstualisasi Demokrasi Indonesia Terkini” yang diselenggarakan oleh Pengurus Sylva Indonesia cabang Institut Pertanian Bogor (IPB), di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 13 Desember 2023. Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain Prof.Moh.Zulfan Tadjoeddin dari Western Sydney University, Dr.Meilania Buitenzorgy dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr.Airlangga Pribadik K dari Jaga Pemilu, Seniman Akbar Yumni, dan Adit Muhammad dari Sylva IPB. Peserta diskusi adalah mahasiswa IPB.

Prof.Zulfan Tadjoeddin menjelaskan tentang sejarah panjang transisi demokrasi Indonesia sejak era kemerdekaan hingga saat ini. Ia mengungkap bagaimana Indonesia pada tahun 1950-an pernah mencoba demokrasi liberal; kemudian era pembangunan ekonomi di masa Orde Baru Soeharto.

Ia menjelaskan bagaimana peningkatan kesejahteraan ekonomi era Orde Baru menghasilkan masyarakat yang lebih berpendidikan dan sejahtera, yang akhirnya menuntut kebebasan. “Rakyat ingin didengar dan tak mau dibungkam. Akhirnya lahirlah Reformasi 1998. Orde Baru tumbang. Dan Indonesia pun memasuki masa transisi demokrasi,” kata Prof.Zulfan.

Hingga pada kondisi saat ini, menurut Zulfan, situasinya sangat mengkhawatirkan. Demokrasi rusak bukan karena ancaman senjata, tetapi demokrasi bisa dirusak oleh mereka yang terpilih secara demokratis.

Meilanie Buitenzorgy kemudian menjelaskan bagaimana fenomena politik fans (buicn) dan “politik receh” kini terjadi. Semuanya dimulai sejak 2014 hingga 2019, yang memunculkan polarisasi di tengah masyarakat. Muncul istilah Cebong sebagai simbol pendukung Pemerintahan Jokowi, lalu Kampret dan Kadrun untuk pendukung Prabowo.

Menurutnya, fenomena ini berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Apapun kebijakan Pemerintah pasti dianggap benar dan dibela oleh Cebong. Sebaliknya apapun kebijakan Pemerintah selalu salah dan dicela oleh Kampret dan Kadrun.

Menurutnya, kondisi itu menjadi alat legitimasi program penguasa. Operatornya adalah influencer dan buzzer, yang bertugas memanipulasi opini publik. Mereka bertugas membuat narasi promosi kebijakan yang kontroversial.

Ia menyebut bahwa marketing politik di Indonesia lebih hebat karena mampu mengemas kandidat yang punya catatan negatif menjadi positif melalui gimmick.

Airlangga Pribadi berbicara topik itu dengan merujuk pada debat pertama Pilpres 2024, tadi malam, yang mengangkat isu Hukum dan HAM. Dia mengungkapkan kekecewaannya melihat bagaimana pelanggaran HAM masa lalu dan masih menyisakan belasan nyawa yang hilang dianggap biasa dan lumrah. Bahkan dianggap sebagai politisasi.

Dia mengingatkan para generasi muda Indonesia bahwa mereka harus bergerak dan tampil sebagai kelas menengah, kekuatan yang masih diharapkan untuk membela dan mempertahankan demokrasi.

Kondisi demikian merupakan alat legitimasi program penguasa. Operatornya adalah influencer dan buzzer, yang bertugas memanipulasi opini publik dengan membuat narasi promosi kebijakan yang kontroversial. Meilanie menilai bahwa keberhasilan marketing politik di Indonesia karena mampu mengemas kandidat yang punya catatan negatif menjadi positif melalui gimmick.

Para generasi muda Indonesia harus bergerak dan tampil sebagai kelas menengah, kekuatan yang masih diharapkan untuk membela dan mempertahankan demokrasi demi masa depan Indonesia yang lebih baik.